Sastrawan Cyber Mendobrak Hegemoni
Pada mulanya adalah kejenuhan. Kejenuhan pada Hegemoni kekuasaan
media-massa cetak koran yang kebetulan punya halaman "sastra"
pada edisi hari Minggu-nya, yang sebenarnya tak lebih dari semacam
"sisipan after thought" atas keberadaan apa yang disebut
sebagai Sastra Indonesia Modern. Semacam sebuah "penebusan
dosa" media koran terhadap terpuruknya posisi dan reputasi
Sastra Indonesia di kampungnya sendiri. Hegemoni kekuasaan koran
dalam penentuan selera sastra para pembaca sastra modern berbahasa
Indonesia, pada saat yang bersamaan juga mempengaruhi bentuk dan
gaya produk sastra yang diciptakan, biasanya mengambil wujud
kasat-akibat dalam diri seorang redaktur budaya/sastra yang konon
terpilih atau sangat beruntung diberikan posisinya itu karena dia
dianggap "mampu bersastra". Atau mengerti soal sastra.
Hegemoni kekuasaan ini termanifes lewat "pilihan"
karya-karya sastra, apa itu puisi atau cerpen, yang "pantas"
terbit dan yang "pantas" tidak terbit. Bagi kasus
terakhir, syukur kalau dipulangkan ke pengirimnya. Hegemoni
kekuasaan ini karenanya sudah jadi tembok bencana karatan bagi
kebanyakan bakat-bakat muda yang seharusnya mendapat sedikit
dukungan untuk prospek masa depan karier sastranya, sudah jadi
begitu brengsek dan fascis makanya sudah sangat pantas untuk
dihancurkan jadi debu dan dibuang untuk tidak diingat lagi
selama-lamanya ke lobang wc umum terminal bis antar-kota di pulau
Jawa.
Maka lahirlah sastrawan cyber Indonesia. Kelahiran sastrawan cyber Indonesia tentu saja tak dapat dilepaskan dari kemunculan teknologi canggih Internet dalam dunia komunikasi. Revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi Internet telah menciptakan ruang-ruang Alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada. Revolusi ini sendiri sangat demokratis sifatnya, siapa saja dapat menggunakannya. Ruang-ruang alternatif baru yang tercipta karena Internet telah memungkinkan para penggunanya tidak berhenti hanya jadi pemakai yang pasif, seperti ketika seorang pembaca membaca koran, tapi sekaligus jadi pencipta "message' pada ruang-ruang tersebut. Dialektika pencipta-pembaca-pencipta/pembaca-pencipta-pembaca dimungkinkan secara interaktif dalam ruang sastra di Internet. Sebuah ruang atau situs sastra Internet juga telah memungkinkan para pencipta karya sastra untuk sangat produktif mengumumkan karya-karyanya tanpa dihantui lagi oleh kecemasan traumatis bakal "ditolak" oleh seorang polisi sastra bernama editor atau redaktur. Kebebasan yang demokratis diberikan secara adil kepada siapa saja, apa dia itu presiden atau cuma cecunguk sastra tak jadi soal. Yang jadi soal cuma cukup besarkah kemampuan sebuah situs sastra untuk menerima wakaf produk-produk sastra yang masuk, itu saja.
Sekarang, bagaimana soal "mutu" atau "estetika" karya-karya sastra cyber Indonesia, seperti yang dikumpulkan dan diumumkan dalam bentuk buku cetak dan diberi judul cool Graffiti Gratitude? Pertanyaan soal "mutu" atau "estetika" ini memang gemar sekali dilontarkan oleh orang Indonesia atas ciptaan made-in-Indonesia, seolah ada kesan bahwa tanpa melontarkan pertanyaan semacam ini maka sah-tidaknya sebuah produk buatan dalam negeri untuk eksis masih belum pasti.
source : http://indonesiaindonesia.com/f/10655-sastrawan-cyber-mendobrak-hegemoni/
Maka lahirlah sastrawan cyber Indonesia. Kelahiran sastrawan cyber Indonesia tentu saja tak dapat dilepaskan dari kemunculan teknologi canggih Internet dalam dunia komunikasi. Revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi Internet telah menciptakan ruang-ruang Alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada. Revolusi ini sendiri sangat demokratis sifatnya, siapa saja dapat menggunakannya. Ruang-ruang alternatif baru yang tercipta karena Internet telah memungkinkan para penggunanya tidak berhenti hanya jadi pemakai yang pasif, seperti ketika seorang pembaca membaca koran, tapi sekaligus jadi pencipta "message' pada ruang-ruang tersebut. Dialektika pencipta-pembaca-pencipta/pembaca-pencipta-pembaca dimungkinkan secara interaktif dalam ruang sastra di Internet. Sebuah ruang atau situs sastra Internet juga telah memungkinkan para pencipta karya sastra untuk sangat produktif mengumumkan karya-karyanya tanpa dihantui lagi oleh kecemasan traumatis bakal "ditolak" oleh seorang polisi sastra bernama editor atau redaktur. Kebebasan yang demokratis diberikan secara adil kepada siapa saja, apa dia itu presiden atau cuma cecunguk sastra tak jadi soal. Yang jadi soal cuma cukup besarkah kemampuan sebuah situs sastra untuk menerima wakaf produk-produk sastra yang masuk, itu saja.
Sekarang, bagaimana soal "mutu" atau "estetika" karya-karya sastra cyber Indonesia, seperti yang dikumpulkan dan diumumkan dalam bentuk buku cetak dan diberi judul cool Graffiti Gratitude? Pertanyaan soal "mutu" atau "estetika" ini memang gemar sekali dilontarkan oleh orang Indonesia atas ciptaan made-in-Indonesia, seolah ada kesan bahwa tanpa melontarkan pertanyaan semacam ini maka sah-tidaknya sebuah produk buatan dalam negeri untuk eksis masih belum pasti.
source : http://indonesiaindonesia.com/f/10655-sastrawan-cyber-mendobrak-hegemoni/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar