SASTRA
MENYINGGUNG
DAN MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT
Pardi
Suratno
Kepala
Balai Bahasa Semarang
1. Fungsi
sastra
Sastra
adalah karya intelektual (karya yang lahir dari pikiran cerdas), bukan karya
dari hasil khayalan atau lamunan. Karya sastra yang bermutu hanya dapat
diciptakan oleh seseorang yang memiliki intelektual tinggi atau cerdas.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tingkat
intelektual tinggi yang memadai dapat dipastikan tidak mampu
menghasilkan karya sastra yang bermutu. Misalnya puisi, puisi mengajarkan
kepada semua orang bahwa puisi itu memiliki makna sehingga tidak tepat jika
terdengar ungkapan hanya puisi. Puisi
adalah getaran jiwa, bukan hanya rangkaian kata tanpa makna.
Sejak
lama sastra diakui sebagai media membangun kesadaran. Bahkan sastra diyakini
memenuhi fungsi hiburan dan edukasi (dulce
at utilte) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media penanaman nilai-nilai
berorientasi terhadap pengembangan kehidupan seseorang, masyarakat dan bangsa.
Sastra
engandung tuntunan artinya. Karya sastra memberikan penawaran nilai atau
pemikiran yang diharapkan mengembangkan wawasan kepada pembaca. Sementara itu,
sastra sebagai hiburan karena memenuhi fungsi memberikan penyegaran
(refreshing). Horace menyatakan bahwa sastra memiliki fungsi dulce at utilte, yakni fungsi menyenangkan dan berguna. Menyenangkan
artinya mengibur (menyegarkan) dan berguna (mendidik) artinya memberikan pencerahan pemikiran bagi
pembaca.
Sastra
membangun kesadaran sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama. Untuk
membangun budaya kerja keras dan cerdas, nenek moyang kita mewarskan pemikiran
itu melalui produk bahsa dan sastra, misalnya peribahasa dan pantun. Peribahasa
adalah kristalisasi pemikiran masyrakat yang dikemas dalam karya budaya. Kita
banyak mengenal peribahasa dan pantun yang memuat nasihat agar semangat
memiliki semangat juang dalam mengarungi hidup.
Sastra
misalnya puisi sebagai penyadaran terhadap kehidupan politik dan birokrasi bagi
pembaca. Sebagai media penyadaran, sastra sekaligus membentuk atau membangun
kesadaran pada diri pembaca. Sebagai missal, seorang birokrat sering kali
melenceng dari logika yang memadai. Dewasa ini kita melihat banyak birokrat
yang menyalahkan wewenang, terutama dalam bidang pemerintahan dan material.
Maka dengan puisi kita dapat melukiskan hal teersebut.
Ditegaskan
kembali sastra bukan sekadar rangkaian kata-kata tanpa makna. Akan tetapi,
sastra adalah kerja intelektual yang cerdas sehingga mengemban fungsi
menghibur, menyindir, menyinggung dan membentuk perilaku masyarakat atau
pembaca. Pembaca yang dapat memberikan nilai, entah penilaian itu dipandang
kritik positif ataupun negatif. Penilaian tersebut jelas akan berdampak bagi perubahan yang positif terhadap perilaku
peimpin.
Semua
orang bijak selalu bersikap rendah hati. Salah satu sikap rendah hati itu
adalah kesadaran bahwa dirinya masih perlu belajar sepanjang hayat. (sejalan
dengan ungkapan life ling education ).
Belajar itu sebagai media pendewasaan. Belajar atau berguru tidak harus dengan
orang-orang tersohor. Justru untuk belajar kearifan hidup, seorang perlu
belajar dari banyak pihak, utamanya belajar dari orang biasa. Belajar tidak harus dengan orang yang lebih tua,
bahkan belajar dari yang lebih muda itu sebuah kearifan. Intinya belajar lah
pada siapapun kapanpun dan dimanapun.
2. Sastra
itu Karya Cerdas dan Harus Dipahami
secara Cerdas
Masyarakat
sastra termasuk kalangan akademisi sastra tidak boleh memandang atau mengatakan
sastra itu hasil khayalan atau lamunan. Sastra sekali lagi harus dipandang
sebagai karya intelektual atau karya cerdas. Sejak masa awal (sastra lama)
hingga sastra modern, karya sastra di Indonesia memcerminkan hasil karya
intelektual. Karya sastra Indonesia pada masa awal (zaman prakemerdekaan atau
zaman Balai Pustaka pun) lahir dari para intelektual pada masa itu. Pengarang
seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Armyn Pane, Muhammad Yamin,
Mohammad Hatta adalah sosok intelektual ketika itu. Mereka adalah generasi baru
hasil pendidikan modern sebagai dampak dari pendidikan kolonial Belanda
Karya
sastra yang cerdas hanya dapat dipahami oleh pembaca yang cerdas pula. Karya
cerdas kan menjadi dangkal dan kering sewaktu dibaca dan dipahami dengan
tingkat intelektual yang rendah. Sebagai contoh, tempo dahulu tidak sedikit
buku yang menyatakan bahwa novel Siti
Nurbaya bertema kawin paksa. Bahkan hamper semua orang mengidolakan tokoh
Syamsul Bahri, kekasih Siti Nurbaya. Sebaliknya, hamper semua orang menilai
negatif sosok Datuk Maringgih. Padahal jika novel itu dibaca dalam kaitan
konteks semangat bangsa Indonesia dalam meperjuangkan kemerdekaan meraih citra
bangsa yang bermartabat, pasti pemahaman itu lebih tepat. Tidak ada alasan sedikit
pun untuk menyanjung atau mengidolakan tokoh Syamsul Bahri dan mencela sikap
tokoh Datuk Maringgih. Pembaca harus menyadari bahwa Marah Rusli merupakan
sosok cerdas dan sadar bahwa dirinya adalah sosok nasionalis. Beliau
menyuarakan jiwa nasionalisme itu secara samar agar novel gubahannya dapat
diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Rangkuman
Seminar “Sastra dan Masyarakat”
Dalam rangka
peringatan Chairil Anwar
Keluarga
Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI)
Fakultas Ilmu
Budaya – Universitas Diponegoro Semarang
Rabu,
25 April 2012 di Ruang A.3.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar