Jumat, 25 Mei 2012

SASTRA MENYINGGUNG DAN MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT

SASTRA
MENYINGGUNG DAN MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT
Pardi Suratno
Kepala Balai Bahasa Semarang
 
 
 

1.      Fungsi sastra

Sastra adalah karya intelektual (karya yang lahir dari pikiran cerdas), bukan karya dari hasil khayalan atau lamunan. Karya sastra yang bermutu hanya dapat diciptakan oleh seseorang yang memiliki intelektual tinggi atau cerdas. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tingkat  intelektual tinggi yang memadai dapat dipastikan tidak mampu menghasilkan karya sastra yang bermutu. Misalnya puisi, puisi mengajarkan kepada semua orang bahwa puisi itu memiliki makna sehingga tidak tepat jika terdengar ungkapan hanya puisi. Puisi adalah getaran jiwa, bukan hanya rangkaian kata tanpa makna.

Sejak lama sastra diakui sebagai media membangun kesadaran. Bahkan sastra diyakini memenuhi fungsi hiburan dan edukasi (dulce at utilte) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media penanaman nilai-nilai berorientasi terhadap pengembangan kehidupan seseorang, masyarakat dan bangsa.


Sastra engandung tuntunan artinya. Karya sastra memberikan penawaran nilai atau pemikiran yang diharapkan mengembangkan wawasan kepada pembaca. Sementara itu, sastra sebagai hiburan karena memenuhi fungsi memberikan penyegaran (refreshing). Horace menyatakan bahwa sastra memiliki fungsi dulce at utilte, yakni fungsi menyenangkan dan berguna. Menyenangkan artinya mengibur (menyegarkan) dan berguna (mendidik) artinya memberikan pencerahan pemikiran bagi pembaca.

Sastra membangun kesadaran sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama. Untuk membangun budaya kerja keras dan cerdas, nenek moyang kita mewarskan pemikiran itu melalui produk bahsa dan sastra, misalnya peribahasa dan pantun. Peribahasa adalah kristalisasi pemikiran masyrakat yang dikemas dalam karya budaya. Kita banyak mengenal peribahasa dan pantun yang memuat nasihat agar semangat memiliki semangat juang dalam mengarungi hidup.

Sastra misalnya puisi sebagai penyadaran terhadap kehidupan politik dan birokrasi bagi pembaca. Sebagai media penyadaran, sastra sekaligus membentuk atau membangun kesadaran pada diri pembaca. Sebagai missal, seorang birokrat sering kali melenceng dari logika yang memadai. Dewasa ini kita melihat banyak birokrat yang menyalahkan wewenang, terutama dalam bidang pemerintahan dan material. Maka dengan puisi kita dapat melukiskan hal teersebut.

Ditegaskan kembali sastra bukan sekadar rangkaian kata-kata tanpa makna. Akan tetapi, sastra adalah kerja intelektual yang cerdas sehingga mengemban fungsi menghibur, menyindir, menyinggung dan membentuk perilaku masyarakat atau pembaca. Pembaca yang dapat memberikan nilai, entah penilaian itu dipandang kritik positif ataupun negatif. Penilaian tersebut  jelas akan berdampak  bagi perubahan yang positif terhadap perilaku peimpin.

Semua orang bijak selalu bersikap rendah hati. Salah satu sikap rendah hati itu adalah kesadaran bahwa dirinya masih perlu belajar sepanjang hayat. (sejalan dengan ungkapan life ling education ). Belajar itu sebagai media pendewasaan. Belajar atau berguru tidak harus dengan orang-orang tersohor. Justru untuk belajar kearifan hidup, seorang perlu belajar dari banyak pihak, utamanya belajar dari orang biasa. Belajar tidak harus dengan orang yang lebih tua, bahkan belajar dari yang lebih muda itu sebuah kearifan. Intinya belajar lah pada siapapun kapanpun dan dimanapun.

2.      Sastra itu Karya Cerdas  dan Harus Dipahami secara Cerdas

Masyarakat sastra termasuk kalangan akademisi sastra tidak boleh memandang atau mengatakan sastra itu hasil khayalan atau lamunan. Sastra sekali lagi harus dipandang sebagai karya intelektual atau karya cerdas. Sejak masa awal (sastra lama) hingga sastra modern, karya sastra di Indonesia memcerminkan hasil karya intelektual. Karya sastra Indonesia pada masa awal (zaman prakemerdekaan atau zaman Balai Pustaka pun) lahir dari para intelektual pada masa itu. Pengarang seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Armyn Pane, Muhammad Yamin, Mohammad Hatta adalah sosok intelektual ketika itu. Mereka adalah generasi baru hasil pendidikan modern sebagai dampak dari pendidikan kolonial Belanda

Karya sastra yang cerdas hanya dapat dipahami oleh pembaca yang cerdas pula. Karya cerdas kan menjadi dangkal dan kering sewaktu dibaca dan dipahami dengan tingkat intelektual yang rendah. Sebagai contoh, tempo dahulu tidak sedikit buku yang menyatakan bahwa novel Siti Nurbaya bertema kawin paksa. Bahkan hamper semua orang mengidolakan tokoh Syamsul Bahri, kekasih Siti Nurbaya. Sebaliknya, hamper semua orang menilai negatif sosok Datuk Maringgih. Padahal jika novel itu dibaca dalam kaitan konteks semangat bangsa Indonesia dalam meperjuangkan kemerdekaan meraih citra bangsa yang bermartabat, pasti pemahaman itu lebih tepat. Tidak ada alasan sedikit pun untuk menyanjung atau mengidolakan tokoh Syamsul Bahri dan mencela sikap tokoh Datuk Maringgih. Pembaca harus menyadari bahwa Marah Rusli merupakan sosok cerdas dan sadar bahwa dirinya adalah sosok nasionalis. Beliau menyuarakan jiwa nasionalisme itu secara samar agar novel gubahannya dapat diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Rangkuman Seminar “Sastra dan Masyarakat”
Dalam rangka peringatan Chairil Anwar
Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI)
Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Diponegoro Semarang
Rabu, 25 April 2012 di Ruang A.3.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar